Minggu, 25 Mei 2008

BUNGA BANK


Pertanyaan:

Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan saya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltut memperbolehkan mengambil bunga ini.

Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlu saya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat uang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihi zakat yang saya keluarkan.

Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang harus saya lakukan?

Jawaban:

Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah berfirman:


"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Antara lain Baqarah: 278-279)


Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan: "Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui. Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini.

Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun kerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab.

Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada beliau.

Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia menzakati harta yang ia simpan di bank.

Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian?

Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.

Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu --sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik kemaslahatan umum.

Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)

Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.

Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan.

Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).

Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?"

Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.

Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?


Pertanyaan:

Kami ingin mengetahui hukum boleh tidaknya laki-laki memandang perempuan, malah lebih khusus lagi, perempuan memandang laki-laki Sebab, kami pernah mendengar dari seorang penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.

Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya, Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah menjawab, "janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan dari yang lain).1

Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap. Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab. Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya!" Lalu kami berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah dia tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab, "Apakah kalian juga tuna netra?" Bukankah kalian dapat melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2

Pertanyaan saya, bagaimana mungkin wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih dan apa maksudnya?

Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat saya, dan saya mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang terus saja memperdebatkan masalah ini dengan tidak ada ujungnya.

Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.

Jawaban:

Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya:

"Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (Yasin: 36)

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.

Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab, secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.

Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya:

"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 35)

Maka hiduplah mereka didalam surga bersama-sama, kemudian memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:

"Allah beffirman, Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)

Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu membutuhkan perempuan, tidak dapat tidak; dan perempuan selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak. "Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.

Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan, sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani. Mereka adakan ikatan yang sangat ketat terhadap diri mereka dalam kependetaan ini yang tidak diakui oleh fitrah yang sehat dan syariat yang lulus, sehingga mereka lari dari perempuan, meskipun mahramnya sendiri, ibunya sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas diri mereka melakukan perkawinan, dan mereka menganggap bahwa kehidupan yang ideal bagi orang beriman ialah laki-laki yang tidak berhubungan dengan perempuan dan perempuan yang tidak berhubungan dengan laki-laki, dalam bentuk apa pun.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?

"Dan orang-orangyang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (at-Taubah: 71)

Telah saya kemukakan pula pada bagian lain dari buku ini bahwa Al-Qur'an telah menetapkan wanita - yang melakukan perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di rumah dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang dapat memberikan kesaksian kepadanya. Hukuman ini terjadi sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)

Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan - bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan), dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.

Kita tidak boleh melupakan hakikat ini, ketika kita membicarakan hubungan laki-laki dengan perempuan atau perempuan dengan laki-laki. Kita tidak dapat menerima pernyataan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya lebih tangguh sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.

Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas secara satu persatu antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki.

LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN

Bagian pertama dari pernyataan ini sudah kami bicarakan dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya memakai cadar, dan kami menguatkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkan firman Allah:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan." Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, yakni:

"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu."

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw. menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.

WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI

Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata:

"Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?

Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.

Para fuqaha hadits berusaha mengompromikan antara hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha," diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas ini lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2

Syaukani, dalam kitabnya Nailul Athar menanggapi hadits-hadits yang mengatakan paha sebagai aurat, bahwa hadits-hadits itu hanya menceritakan keadaan (peristiwa), tidak bersifat umum.

Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan dalam Tahdzibut Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:

"Jalan mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad dan lainnya bahwa aurat itu ada dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci]) dan mughallazhah (berat/besar). Aurat mughallazhah ialah qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."

Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum muslim berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.

Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas.

Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat tidak bolehnya wanita memandang laki-laki secara umum, dengan alasan apa yang dikemukakan oleh saudara penanya dalam pertanyaannya di atas.

Adapun hadits Fatimah r.a. di atas tidak ada nilainya dilihat dari sisi ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab dari kitab-kitab dalil hukum yang memuat hadits tersebut, dan tidak ada seorang pun ahli fiqih yang menggunakannya sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang wanita melihat laki-laki pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.

Dalam mentakhrij hadits ini Imam al-Ilraqi berkata, "Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad yang dhatif." (Ihya Ulumuddin, kitab an-Nikah, Bab Adab al-Mu'asyarah. Dan disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 2:202 dan beliau berkata, "Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan dalam sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."

Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu Salamah, seperti disebutkan penanya; ed.) kami temukan penolakannya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam meringkas pendapat mengenai masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:

"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi'i.

Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata:

"Aku pernah duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw. bersabda, 'Berhijablah kamu daripadanya. 'Aku berkata, Wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada bertanya, 'Apakah kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah; penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu Daud. dan lain-lain)

Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).

Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan teriadinya fitnah. Bahkan, kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.

Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:

"Beriddahlah enkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)

Aisyah berkata:

"Adalah Rasulullah saw. melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah saw. selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.

Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita
diwajibkan berhijab,4 supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.

Adapun mengenai hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata, "Nabhan meriwayatkan dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan hadits, "Apabila salah seorang di antara kamu mempunyai mukatab (budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya), maka hendaklah ia berhijab daripadanya." Dari pernyataan ini seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan kelemahan hadits Nabhan tersebut, karena dia tidak meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan denganushul ini.

Ibnu Abdil Barr berkata, "Nabhan itu majhul, ia tidak dikenal melainkan melalui riwayat az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits Fatimah itu sahih, maka berhujjah dengannya adalah suatu keharusan."

Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa hadits Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.

Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.

Al-Atsram berkata, "Aku bertanya kepada Abi Abdillah, 'Hadits Nabhan ini tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi, sedangkan hadits Fatimah untuk semua manusia? Beliau menjawab, 'Benar.'5

Kalaupun hadits-hadits ini dianggap bertentangan, maka mendahulukan hadits yang sahih itu lebih utama daripada mengambil hadits mufrad (diriwayatkan oleh perseorangan) yang dalam isnadnya terdapat pembicaraan." (Ibnu Qudamah, al-Mughni 6:563-564).

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya. Firman Allah:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )

Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur'an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah menjadikannya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, "Marilah ke sini." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah." (An-Nur: 23)

Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita kota ketika pertama kali mereka melihat ketampanan dan keelokan serta keperkasaan Yusuf:

"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusut), 'Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka.' Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata, 'Maha sempuma Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu berkata, 'Itulah orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)

Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat. Pandangan seperti inilah yang dinamakan dengan "pengantar zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang beracun," dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:

"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."

Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.

Catatan kaki:

1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti. ^
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan (menyebutkan hadits secara langsung tanpa menyebutkan nama orang yang menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan bentuk kata ruwiya (diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa riwayat itu dha'if menurut beliau, sebagaimana dijelaskan dalam biografi beliau. ^
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi saw.) tidak suka kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap betismu, lantas ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang lain, yang engkau tidak menyukainya." Ini dimaksudkan bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah lembut kepadanya dan hendak memberinya kemudahan sehingga dia sepanjang hari tidak menutup seluruh tubuhnya terus menerus kalau ia bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik yang banyak tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna netra itu tidak mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan demikian dia mendapatkan sedikit keringanan. ^
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini ialah memakai cadar dan menutup wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami telah memberikan penolakan secara rinci dalam fatwa kami tentang "Apakah Cadar itu Wajib?" ^
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata, "Ini adalah untuk istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah tidak Anda perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor 4115. ^

BOLEHKAH BERDUAAN DENGAN TUNANGAN?


Pertanyaan:

Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui lamaran saya. Karena itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran itu, kami bacakan al-Fatihah, dan kami mainkan musik. Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat dipandang sebagai perkawinan menurut syari'at yang berarti memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan untuk melaksanakan akad nikah secara resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA).

Jawaban:

Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke sana.

Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin); adat kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami:

"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (Al Baqarah: 235)

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq 'alaih)

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap
merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.

Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.

Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.

Allah berfirman:

"Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ..." (Al Baqarah: 237)

Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah.

Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram.

Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama.

"... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 229)

"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An Nur: 52)

TENTANG KAIDAH "KITA BANTU-MEMBANTU DLM MASALAH YG KITA SEPAKATI, & BERSIKAP TOLERAN DLM MASALAH YG KITA PERSELISIHKAN"


Pertanyaan:

Saya sering membaca buku-buku Ustadz dan mendengar ceramah-ceramah Ustadz yang menyeru kepada kaidah yang berbunyi: "Kita bantu-membantu (bertolong-tolongan) dalam masalah yang kita sepakati, dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan."

Siapakah yang mencetuskan ungkapan seperti itu? Apakah ia mempunyai dalil syara'? Bagaimana kita harus bantu-membantu dengan ahli-ahli bid'ah dan para penyeleweng? Dan bagaimana kita harus toleran dengan orang yang menyelisihi kita dan bahkan menyelisihi nash Al-Qur'an dan As-Sunnah?

Bukankah kita dituntut untuk mengingkari dan menjauhinya, dan sebaliknya tidak bersikap toleran kepadanya? Bukankah Antara lain Qur'an mengatakan (yang artinya): "... jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul" (an-Nisa': 59)? Mengapa kita tidak mengembalikannya saja kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan bukan malah menolerirnya? Adakah toleransi bagi si penentang nash?

Terus terang, masalah ini masih samar bagi kami. Karena itu kami membutuhkan penjelasan Ustadz, terutama dalil-dalilnya. Kami yakin Ustadz mempunyai keahlian mengenai masalah ini sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepada Ustadz. Semoga Allah memberi Ustadz pahala.

Jawaban:

Yang membuat kaidah atau ungkapan. Kita bantu-membantu (tolong-menolong) mengenai apa yang kita sepakati dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkant adalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpin madrasah Salafiyyah al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manar al-Islamiyyah yang terkenal itu, pengarang tafsir, fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia Islam. Sebelum ini, beliau telah mencetuskan kaidah al-Manar adz-Dzahabiyyah yang maksudnya ialah "tolong-menolong sesama ahli kiblat" secara keseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.

Beliau mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi berdasarkan petunjuk Al-Qur'an, As-Sunnah, bimbingan salaf salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat Islam untuk saling mendukung dan membantu dalam menghadapi musuh mereka yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu dalam menghadapi musuh. Inilah yang diperingatkan dengan keras oleh Al-Qur'an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolong antara sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman:

"Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagõ sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." (al Anfal 73)

Makna illaa taf'aluuhu (jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan sebagian lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir. Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir itu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung, dan saling melindungi yang sangat kuat diantara sesama mereka, terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang berpecah-pecah dan saling merendahkan sesamanya.

Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang yang hendak memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk bersatu padu dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan musuh Islam.

Apakah cendekiawan muslim yang melihat kerja sama dan persekongkolan Yahudi internasional, misionaris Barat, komunis dunia, dan keberhalaan Timur di luar dunia Islam, dapat merajut kelompok-kelompok dalam dunia Islam yang menyempal dari umat Islam? Mampukah mereka menyeru ahli kiblat untuk bersatu dalam satu barisan guna menghadapi kekuatan musuh yang memiliki senjata, kekayaan, strategi, dan program untuk menghancurkan umat Islam, baik secara material maupun spiritual?

Begitulah, para muslih menyambut baik kaidah ini dan antusias untuk melaksanakannya. Yang paling mencolok untuk merealisasikan hal itu ialah al-Imam asy-Syahid Hasan al-Bana, sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwa beliaulah yang menelorkan kaidah ini.

Adapun masalah bagaimana kita akan tolong-menolong dengan ahli-ahli bid'ah dan para penyeleweng, maka sudah dikenal bahwa bid'ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada bid'ah yang berat dan ada yang ringan, ada bid'ah yang menjadikan pelakunya kafir dan ada pula bid'ah yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, meskipun kita menghukuminya bid'ah dan menyimpang.

Tidak ada larangan bagi kita untuk bantu-membantu dan bekerja sama dengan sebagian ahli bid'ah dalam hal-hal yang kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan dunia, dalam menghadapi orang yang lebih berat bid'ahnya atau lebih jauh kesesatan dan penyimpangannya, sesuai dengan kaidah: "Irtikaabu akhaffidh dhararain" (memilih/melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya).

Bukan hanya bid'ah, kafir pun bertingkat-tingkat, sehingga ada kekafiran dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari para sahabat dan tabi'in. Dalam hal ini tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang kita perlu bekerja sama dengan sebagian orang kafir dan musyrik - meskipun kekafiran dan kemusyrikannya sudah nyata - demi menolak kekafiran yang lebih besar atau kekafirannya sangat membahayakan umat Islam.

Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nya diindikasikan bahwa Al-Qur'an menganggap kaum Nashara - meskipun mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur'an) - lebih dekat kepada kaum muslim daripada kaum Majusi penyembah api. Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa Rum Byzantium yang Nashara. Adapun kaum musyrik bersikap sebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi lebih dekat kepada aqidah mereka yang menyembah berhala.

Ketika itu turunlah Al-Qur'an yang memberikan kabar gembira kepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan berubah, dan kemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahun mendatang:

"... Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah ..." (ar-Rum: 4-5)

Secara lebih lengkap Al-Qur'an mengatakan:

"Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang benman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (ar-Rum: 1-5)

Nabi saw. pernah meminta bantuan kepada sebagian kaum musyrik Quraisy setelah Fathu Makkah, dalam menghadapi musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama. Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus dengan beliau. Disamping itu, suku Quraisy termasuk suku yang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat,
sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernah mengatakan, "Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin."

Bagi Ahlus-Sunnah - meski bagaimanapun mereka membid'ahkan golongan Muktazilah - tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran golongan Muktazilah dalam beberapa hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak terhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah yang mereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang dari Sunnah.

Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun (dari kalangan Ahlus Sunnah) - yang menaruh perhatian terhadap Al-Qur'an dan tafsirnya - yang tidak menggunakan rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalam tafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, Abi Su'ud, al-Alusi, dan lainnya.

Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh Ibnu Hajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yang berjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits al-Kasysyaaf. Kita jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai masalah-masalah yang diperselisihkan dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli filsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi banyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqah Islam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produk dan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat digunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahli filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:

"Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberi peringatan kepada orang yang menganggap baik terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itu bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak mencampuri mereka untuk menuntut dan mengingkari, bukan menyerukan dan menetapkan perkataan mereka. Maka saya jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka dengan posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan mereka bermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak menetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggap semua firqah bersekutu untuk menentangnya, karena semua firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah kita menentang mereka. Dan ketika menghadapi masalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama (dalam masalah-masalah kecil/cabang)."

Saudara penanya berkata, "Bagaimana kita bersikap toleran kepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur'an atau hadits Nabawi, sedangkan Allah berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah)." (an-Nisa': 59)

Menurut saya (Qardhawi), saudara penanya ini tidak mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nash itu mempunyai perbedaan besar dilihat dari segi tsubut (periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada yang qath'i dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yang qath'i tsubut seperti Al-Qur'an al-Karim dan hadits-hadits mutawatir yang sedikit jumlahnya itu. Sebagian ulama menambahkannya dengan hadits-hadits Shahihain yang telah diterima umat Islam dan disambut oleh generasi yang berbeda-beda sehingga melahirkan ilmu yang meyakinkan. Tetapi sebagian ulama lagi menentangnya, dan masing-masing mempunyai alasan:

Disamping itu, ada nash yang zhanni tsubut. Misalnya, hadits-hadits umumnya, baik yang sahih maupun hasan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan, musnad, mu'jam, dan mushannaf yang bermacam-macam.

Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam. Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaan dan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada yang menolaknya secara mutlak.

Kadang-kadang ada yang menganggap seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pula yang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tema tertentu yang dianggap memerlukan banyak jalan periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila hanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkan sebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkan beberapa hukum daripadanya, sedangkan imam yang lain menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih kuat yang menentangnya, seperti praktek-praktek yang bertentangan dengannya.

Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui oleh orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran (perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka menulisnya dalam kitab-kitab mereka yang disertai dengan dalil-dalil untuk memperkuat mazhabnya dan menolak mazhab/orang yang bertentangan dengannya.

Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, maka perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.

Diantara nash-nash itu ada yang qath'i dilalahnya atas hukum, yang tidak rnengandung kemungkinan lain dalam memahami dan menafsirkannya. Contohnya, dilalah nash yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, serta haji (yang menunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina, riba, minum khamar, dan lain-lainnya (yang menunjukkan keharamannya), dan dilalah nash-nash al-Qur'an dalam pembagian waris. Tetapi nash yang qath'i dilalahnya ini jumlahnya sedikit sekali.

Kemudian ada pula nash-nash yang zhanni dilalahnya, yakni mengandung banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan menafsirkannya.

Karena itu, ada sebagian ulama yang memahami suatu nash sebagai 'aam (umum), sedangkan yang lain menganggapnya makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya mutlak, yang lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain majazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukan hukumnya), yang lain mansukh. Yang sebagian menganggapnya wajib, yang lain tidak lebih dari mustahab. Atau yang sebagian menganggap nash itu menunjukkan hukum haram, yang lain tidak lebih dari makruh.

Adapun kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang oleh sebagian orang dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat kembalinya segala persoalan, hingga setiap perbedaan dapat diselesaikan dan setiap perselisihan dapat diputuskan, ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yang menetapkannya, ada yang menafikannya, dan ada yang memilih diantara yang mutlak dan muqayyad.

Misalnya saja dilalah amr (petunjuk perintah). Apakah sighat amr (perintah) itu menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau boleh jadi wajib dan boleh jadi mustahab? Atau tidak menunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai dengan qarinah (indikasi) tertentu? Atau apakah hukum perintah dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbeda?

Kurang lebih, ada tujuh pendapat mengenai dilalah amr yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih, yang masing-masing mempunyai dalil dan argumentasi.

Misalnya mengenai hadits:

"Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot." (HR Bukhari)

"Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (HR Bukhari)

"Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat kendaraan, maka hendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan."

"Sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang dekat denganmu." (HR Bukhari)

Apakah perintah-perintah dalam hadits di atas menunjukkan hukum wajib, mustahab, atau untuk membimbing saja? Atau masing-masing perintah mempunyai hukum tersendiri sesuai dengan petunjuk susunan kalimat dan indikasinya?

Demikian pula tentang dilalah nahyu (larangan). Apakah larangan itu menunjukkan hukum haram, makruh, atau mungkin haram dan mungkin makruh, atau tidak menunjukkan suatu hukum kecuali jika disertai dengan qarinah khusus? Atau apakah hukum yang dimunculkan oleh larangan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbeda?

Dalam masalah ini juga ada tujuh pendapat sebagaimana yang dimuat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Disamping itu, juga terdapat perbedaan pendapat mengenai 'aam dan khash, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum, muhkam dan mansukh, dan sebagainya.

Karena itu, kadang-kadang ada masalah yang dari segi prinsip telah disepakati, tetapi dari segi pelaksanaan diperselisihkan. Kadang-kadang keduanya telah sepakat tentang boleh dan adanya nasakh, namun berbeda pendapat dalam nash tertentu. Apakah dia mansukh atau tidak?

Contohnya, hadits: "Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam"1 dan hadits tentang jatuhnya talak tiga yang diucapkan sekaligus dengan dihitung sebagai talak satu saja pada zaman Rasulullah saw., Abu Bakar, dan pada permulaan kekuasaan Umar.

Kadang-kadang kedua belah pihak telah sepakat bahwa ada sebagian perkataan dan perbuatan dari Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai imam dan pemimpin umat yang tidak termasuk tasyri' umum yang abadi bagi umat, tetapi kedua pihak berbeda pendapat mengenai perkataan atau perbuatan tertentu, apakah termasuk kedalam bab ini ataukah tidak.

Misalnya apa yang disebutkan Imam al-Qarafi dalam kitabnya Al-Faruq dan Al-Ahkam mengenai sabda Nabi saw.:

"Barangsiapa membunuh seseorang (kafir), maka ia berhak atas barangnya (pakaiannya, senjatanya, kendaraannya)."

"Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu untuknya."

Apakah datangnya hadits ini sebagai tabligh dari Allah sehingga ia merupakan tasyri' umum yang abadi? Ataukah datang dari beliau saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat dan kepala negara serta sebagai panglima tertinggi dalam peperangan, sehingga hukum yang dikandungnya tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada ketetapan dari panglima atau penguasa?

Para fuqaha berbeda pendapat tentang mekanismenya, karena itu mereka juga berbeda pendapat mengenai hukumnya.

Adakalanya kedua pihak sepakat bahwa diantara sabda dan tindakan Rasulullah saw. itu ada yang tidak termasuk bab tasyri' agama yang bersifat ta'abbudi, melainkan merupakan urusan dunia yang diserahkan kepada kemampuan dan usaha manusia. Misalnya, sabda beliau yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih:

"Kamu lebih mengerti tentang urusan duniamu."

Namun, mereka berbeda pendapat tentang perkataan dan tindakan tertentu, apakah ia termasuk urusan dunia yang kita tidak diwajibkan mengikutinya, ataukah termasuk urusan agama yang kita tidak boleh keluar daripadanya. Misalnya, yang berkenaan dengan beberapa masalah medis yang disebutkan dalam beberapa hadits, yang oleh Imam ad-Dahlawi dianggap sebagai urusan dunia, sementara oleh yang lain dianggapnya sebagai urusan agama dan syara' yang wajib dipatuhi.

Ada pula sebab terpenting yang memicu terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan memahami nash, yaitu perbedaan antara madrasah "azh-Zhawahir" dan madrasah "al-Maqashid," yakni lembaga pendidikan yang berpegang pada zhahir nash dan terikat dengan bunyi teks dalam memahaminya, serta lembaga pendidikan yang mementingkan kandungan nash, jiwa, dan maksud/tujuannya. Begitu pentingnya maka sehingga kadang-kadang ia keluar dari zhahir dan harfiyah nash, demi mewujudkan apa yang dipandangnya sebagai maksud dan tujuan nash.

Kedua madrasah (lembaga pendidikan) ini senantiasa ada didalam kehidupan dalam segala urusan. Bahkan dalam hukum atau undang-undang wadh'iyyah (buatan manusia) juga kita dapati para pemberi penjelasan berbeda pendapat antara yang satu dan yang lain. Ada yang menekankan bunyi teks dan ada yang menitikberatkan pada kandungannya, atau antara pihak yang mempersempit dan memperluas.

Islam - sebagai agama waqi'i (realistis) - memberi kelapangan kepada kedua madrasah itu dan tidak menganggap salah satunya keluar dari Islam, meskipun Madrasah "al-Maqashid" itulah menurut pendapat kami yang mengungkapkan hakikat Islam, dengan syarat tidak mengabaikan nash-nash juz'iyyah secara keseluruhan.

Dalam sunnah Rasul saw. sendiri terdapat sesuatu yang mendukung diterimanya perbedaan pendapat semacam ini dalam suatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa shalat asar di Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda pada hari perang Ahzab:

"Jangan sekali-kali seseorang melakukan shalat asar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah."

Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan shalat asar kecuali setelah kami datang di Bani Quraizhah." Dan sebagian lagi berkata, "Kami akan melakukan shalat asar, karena bukan itu yang dimaksudkan Rasulullah saw. terhadap kita." Kemudian peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah saw., maka beliau tidak mencela salah satunya."2

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata di dalam kitabnya Zadul Ma'ad sebagai berikut:

"Para fuqaha berbeda pendapat: manakah yang benar. Satu golongan mengatakan, 'Orang yang mengakhirkan (menunda) shalatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka, niscaya kami juga mengakhirkannya sebagaimana yang mereka lakukan, dan tidaklah kami melakukan shalat kecuali di kampung Bani Quraizhah demi melaksanakan perintahnya (Rasul), dan meninggalkan takwil yang bertentangan dengan
zhahir.'

Golongan lain berkata, 'Bahkan orang-orang yang melakukanshalat di tengah perjalanan pada waktunya itulah yang mendapatkan keunggulan. Mereka berbahagia mendapatkan tiga keutamaan sekaligus, yakni bersegera melaksanakan perintah Rasul untuk keluar, bersegera mendapatkan keridhaan Allah dengan melakukan shalat pada waktunya, dan bersegera menjumpai kaum yang dituju.'

Dengan demikian, mereka memperoleh keutamaan jihad, keutamaan shalat pada waktunya, mengerti apa yang dikehendaki, dan mereka lebih pandai daripada yang lain. Apalagi shalatnya itu adalah shalat asar yang merupakan shalat wustha berdasarkan nash Rasulullah saw. yang sahih dan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dan disangkal lagi. Ia merupakan sunnah yang datang menyuruh manusia untuk memeliharanya, bersegera kepadanya, dan melaksanakan pada awal waktunya. Barangsiapa meninggalkannya, ia akan rugi seperti ia kehilangan anak istrinya (keluarganya) dan hartanya.3 Jadi, hal ini merupakan perintah yang tidak diterapkan pada amalan lain.

Adapun orang-orang yang mengakhirkannya, mungkin saja dimaafkan atau diberi satu pahala karena berpegang teguh pada zhahir nash dan bermaksud mejalankan perintah. Namun, tidak bisa dikatakan mereka benar dan orang yang bersegera melakukan shalat serta jihad itu salah. Mereka yang melaksanakan shalat di tengah jalan, berarti telah menghimpun antara beberapa dalil dan mendapatkan dua keutamaan. Kalau mereka mendapatkan dua pahala, maka yang lain pun mendapatkan pahala. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka."4

Maksud dari semua penjelasan itu ialah: bahwa orang yang menentang kita dalam masalah yang ada nashnya (yang qath'i tsubut dan dilalah-nya), maka ia tidak boleh kita tolerir sama sekali. Sebab, masalah-masalah qath'iyyah (yang didasarkan pada dalil-dalil qath' tsubut dan dilalah-nya) bukanlah lapangan ijtihad, karena sesungguhnya lapangan ijtihad hanyalah dalam masalah-masalah zhanniyyah (yang didasarkan pada dalil zhanni).

Membuka pintu ijtihad untuk masalah-masalah qath'iyyah berarti membuka pintu kejahatan dan fitnah atas umat. Hal itu tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali Allah, karena qath'iyyat itulah yang menjadi tempat kembali ketika terjadi pertentangan dan perselisihan. Apabila masalah qath'iyyah ini menjadi ajang pertentangan dan perselisihan, maka sudah tidak ada lagi ditangan kita ini sesuatu yang kita jadikan tempat berhukum dan kita jadikan sandaran.

Telah saya peringatkan dalam beberapa kitab saya bahwa diantara fitnah dan pemikiran yang sangat membahayakan kehidupan agama dan peradaban kita ialah memutarbalikkan masalah-masalah qath'iyyah sebagai zhanniyyah dan perkara-perkara (dalil-dalil) yang muhkam sebagai mutasyabihah

Bahkan adakalanya menentang sebagian masalah qath'iyyah itu termasuk kafir yang terang-terangan, yaitu bila sampai mengenai apa yang dinamakan oleh ulama-ulama kita dengan istilah "al-ma'lum minad-din bidh-dharurah" (yang sudah diketahui dari agama dengan pasti). Maksudnya, apa yang telah disepakati hukumnya oleh umat Islam, dan sama-sama diketahui oleh orang pandai dan orang awam, seperti fardunya zakat dan puasa, haramnya riba dan minum khamar, dan lain-lain yang merupakan ketentuan Dinul Islam yang pasti.

Adapun terhadap orang yang berbeda pendapat dengan kita mengenai nash yang zhanni - karena satu atau beberapa sebab - kita perlu bersikap toleran meskipun kita tidak sependapat dengan mereka Mengenai sebab-sebab itu telah saya sebutkan atau bisa juga melihat uraian Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Raf'ul-Malam 'an Aimmatil-A'lam. Dalam kitab ini beliau menyebutkan sepuluh sebab atau alasan, namun beliau tidak menggunakan nash atau hadits tertentu. Ini menunjukkan keluhuran ilmu dan kesadaran beliau r.a..

Begitulah seharusnya sikap kita, yaitu sikap tasamuh (toleran) terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita selama mereka mempunyai sandaran yang mereka jadikan pegangan dan mereka merasa mantap dengannya, walaupun kita berbeda pendapat dengan mereka dalam mentarjih apa yang mereka tarjihkan.

Betapa banyak pendapat yang pada mulanya dianggap lemah, ditinggalkan, atau dianggap aneh, ganjil, kemudian menjadi kuat setelah Allah menyediakan untuknya orang yang menolongnya, menguatkannya, dan mempopulerkannya. Salah satu contoh dapat kita lihat dengan jelas pendapat-pendapat Imam Ibnu Taimiyah, khususnya dalam masalah-masalah talak dan yang berhubungan dengannya. Banyak ulama muslimin dan ahli
fatwa yang menyukai fatwa-fatwa beliau dan menjadikannya acuan (padahal sebelumnya pendapat itu tertolak). Dengan fatwa-fatwanya itu Allah menyelamatkan keluarga muslimah dari kehancuran dan keruntuhan. Dan dalam waktu dekat menjadi contoh bagi pendapat-pendapat yang dianggap aneh dan menyimpang dari kebenaran, termasuk dalam kerajaan Arab Saudi.


Akhirnya, segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam.


Catatan:

1 Maksudnya: batal puasa orang yang membekam dan dibekam. (penj.). ^
2 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "Kitab al-Maghazi," bab "Marji'in Nabiyyi minal Ahzab wa Makhrajihi ila Bani
Quraizhah" (Fathul Bari: 4119). Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam bab "al-Jihad" (1770) dan shalatnya dikatakan shalat zuhur. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan Ka'ab bin Malik dan Aisyah yang mengatakan bahwa shalatnya adalah shalat asar, sebagaimana disebutkan dalam Fat-hul Bari, 7: 408-409. ^
3 Diriwayatkan oleh Bukhari (2: 26, 53) dari hadits Buraidah: "Barangsiapa yang meninggalkan shalat asar, maka gugurlah amalannya." Dan diriwayatkan oleh Muslim (626) dari hadits Ibnu Umar: "Barangsiapa tidak melakukan shalat asar, maka seakan-akan dia kehilangan keluarga dan hartanya." Ini juga disebutkan dalam Bukhari (4:24) ^
4 Zadul Ma'ad, 3: 131. ^

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN


Pertanyaan:

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

Jawaban:

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi sawmeninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan secara pasti - akan keharamannya. Adakalanya beliameninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruhadakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanysemata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, sepertbeliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisahbai'at, Ummu Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah - membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al- Mu'minaat Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda:

"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran:47)

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima':

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."

(2) Hadits Ibnu Abbas:

"Barangkali engkau menyentuhnya...?"

(3) Hadits lbnu Mas'ud:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)..."6

Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."

(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."

(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf: "... Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialahal-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki."8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki."

Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara kedua pendapat tersebut."

Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong."10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, danbeliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu ..."

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram."

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar ...

Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau."

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:

"Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan."

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah."

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping."

Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang kuat,tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dariasalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalammembersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan."

Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas."11

Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:

Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki danperempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertaidengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkanterjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwatdan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidakdiragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.

Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.

Wallahu a'lam.

Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155. ^
2 Ibid., 4: 156-157 ^
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.) ^
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat." ^
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang sahih." ^
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40) ^
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135. ^
8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224. ^
9 Ibid. ^
10 Fathul Bari, juz 13. ^
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan redaksional ^